Dari Waingapu ke Lailara, dan Kembali Lagi (Bagian Kedua: 29 April 2022)

Hari 2 (29 April 2022)

Langit berbintang dari Bukit Tanau, 5:20 WITA

Alarm berbunyi pada pukul 3:00 WITA, menandakan sudah saatnya aku melaksanakan sahur. Makanan hotel yang standar seperti nasi goreng dan omelet kusantap dengan lahap bersama dengan kawan-kawan. Supir kami Umbu Petu pertamanya membawa kami ke Rumah Tenun Ikat Haumara, tempat oom Ippit telah menunggu. Langit dihiasi oleh jutaan bintang beserta Bima Sakti yang menutupi langit Sumba, lagi-lagi sebuah pemandangan yang tidak mungkin didapat di kota. Untuk membuka hari ditemani dengan benda-benda langit itu, kami menuju ke Bukit Tanau (juga dikenal dengan nama Bukit 1000). Sungguh alam raya menampakkan keindahannya. Kami pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dengan mengambil beragam foto bintang-bintang dan matahari terbit. ISO 1600 dan shutter speed 32 detik seolah menjadi "mantra" kami untuk menangkap dewangga alam ini. Di saat matahari telah meninggi, kami mengambil foto dengan mengenakan kain tenun Sumba yang termasyhur itu sebagai penutup.

 Mengenakan kain tenun Sumba di atas Bukit Tanau, 6:47 WITA

Sejenak kembali ke Haumara untuk merentangkan kaki, kami pun melanjutkan perjalanan ke Lailara di barat kabupaten Sumba Timur. Perjalanan yang kami tempuh selama hampir dua jam dari Waingapu berjalan melintasi jalanan yang berliku-liku melalui perbukitan Sumba yang membentang luas. Perjalanan sempat terhenti ketika kami dihadang oleh ribuan belalang yang melintasi jalan antarkabupaten yang kami lalui. Kami pun serta-merta turun dan mengabadikan momen unik ini.


 Kiri: Ribuan belalang melewati jalan antarkabupaten - Kanan: Desa di Lailara

Pada akhirnya +/- setengah jam kemudian kami tiba di desa Lailara dengan rumah-rumah adatnya. Kami melakukan survei di lokasi dengan menggunakan drone untuk mengambil citra dari atas. Pekerjaan kami lakukan dan sebelum kembali ke Waingapu, kami disuguhi beberapa gelas kopi Sumba. Meskipun matahari Nusa Tenggara bersinar begitu terik (apalagi ketika diriku membatalkan puasa lebih awal dengan menyeruput segelas kopi yang panas), rumah-rumah adat di Sumba terasa begitu adem dan sejuk. Memang tidak mengherankan karena entah berapa generasi keluarga yang telah tinggal di pulau ini, sehingga mereka bisa mempunyai arsitektur atap yang begitu teduh yang terbuat dari alang-alang.

Kiri: Paket nasi se'i goreng di PC Corner, Waingapu - Kanan: Rumah Ngadu Latang

Kembali ke lap...maksudnya, ke Waingapu, kami mengunjungi lagi restoran tempat kami makan malam kemarin: PC Corner. Untuk makan siang, aku memesan satu paket nasi dengan se'i goreng, ditemani semangkuk sup kacang merah, tumis daun dan bunga pepaya, serta sambal lu'at untuk mencocol potongan se'inya. Daging yang asin, sambal yang sedikit asam, sup kacang merah yang gurih, serta tumisan yang pahit serasa menjadi simfoni rasa di lidah. Dekorasi kafe yang berkesan seolah membawaku ke kafe di Jakarta Selatan. Setelah makan siang, kami juga menyempatkan diri sejenak untuk mengunjungi rumah tenun yang kuketahui selanjutnya bernama Ngadu Latang, atau "melihat sawah".

Ketika sore menjelang, kami melanjutkan tugas dengan berkunjung ke kediaman bupati, tetapi sebelumnya, oom Ippit harus mengalungkan dulu kain tenun Sumba di leher dan pundak. Di tempat itu kami bertemu dengan Umbu Us, Umbu Tamu, dan Bupati Sumba Timur Khristofel Praing, membicarakan tentang proyek Rumah Pancasila kami. Para asisten mereka kemudian menjamu kami dengan hidangan makan malam seperti nasi dengan ikan bakar dan sayur-mayur. Sungguh sebuah kehormatan bagi kami untuk bisa berbicara dengan para tokoh adat dan bupati.
 

Kunjungan kerja di kantor bupati, Waingapu

--- Bersambung ---

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pratinjau Album "Best of Rollies" [1981]

Ulasan Buku "Lemari Ajaib" [2023] Karya Katharina Stögmüller

Pratinjau Album "Aku Harus Pergi" [1988] Karya Jakarta Rhythm Section