I Left My Heart in Sumba (Bagian Ketiga dan Terakhir: 30 April‒1 Mei 2022)

Hari 3 & 4 (30 April‒1 Mei 2022)

Pemandangan Waingapu dari Bukit Tanau/Bukit 1000. Dari kejauhan terlihat pulau Flores

Masih terkesima dengan pemandangan matahari terbit dari Bukit Tanau, kami pun memutuskan datang kembali untuk kedua kalinya. Seperti kemarin, kami tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, terlebih lagi esok harinya kami harus menaiki penerbangan pagi ke Denpasar. Di hari itu kami kembali mengunjungi kediaman bupati, tetapi kali ini selain aku, Darien, Fania dan oom Ippit, kami juga kedatangan kru yang lebih besar. Kami pun beranjak menuju sebuah tempat bernama Ndapa Tuama yang berada di luar kota Waingapu. Di sana kami melakukan survei untuk menentukan lokasi Rumah Pancasila yang akan dibangun. Melewati semak belukar hingga tergelincir dari pijakan yang curam ternyata tidak mendongkolkanku, malah ada yang berkata bahwa itu adalah sebuah tanda keberuntungan (yah apa yang mau dikata bila kadung jatuh cinta dengan Sumba?). Long story short, kami kembali ke kota dengan mobil yang berbeda-beda. Jiwa petualang seolah membara ketika aku dan oom Ippit menaiki mobil pikap dari Ndapa Tuama hingga ke kediaman bupati di Waingapu.

Kiri: Pertemuan pagi di kediaman bupati - Kanan: Berfoto di atas mobil pikap, Ndapa Tuama

Setelah menunaikan tugas, kami pun kembali ke Haumara untuk makan siang. Seperti daerah pulau pada umumnya, ikan mendominasi lauk kami yang disajikan dengan uhu (nasi). Perjalanan singkat selanjutnya adalah menuju Gereja Santa Monika Haumara, sebuah gereja yang memiliki atap bergaya rumah tradisional Sumba. Secara resmi ia masih belum selesai dibangun; kondisi pandemi dan siklon Seroja yang terjadi tahun lalu masih mempengaruhi dan menunda pembangunan gereja. Setelah menyerahkan satu buah gong untuk gereja, para masyarakat memberi kami masing-masing selembar kain tenun Sumba sebagai kenang-kenangan. Sebelum menikmati matahari terbenam terakhir di Sumba, kami juga mengunjungi beberapa rumah adat/tenun lainnya, seperti rumah tenun di Palumarung dan Pameti Mahu, salah satu rumah adat yang telah selesai dibangun.


 Kiri: Rumah di Palumarung - Kanan: Ladang di Haumara. Sebelum siklon Seroja merusak bendungan, daerah ini merupakan sawah yang digenangi air


Kiri: Gereja Santa Monika, Haumara - Kanan: Penyerahan gong kepada gereja 

Pantai Laipori kembali memanggil. Tidak kusangka pada malam harinya bapak Bupati serta para Umbu menghadiri pondok untuk membicarakan kembali proyek Rumah Pancasila untuk terakhir kalinya sebelum kepulangan kami ke Jakarta. Tidak kusangka juga bahwa pada hari kemarin buku catatanku yang kutulis dalam bahasa Kambera (salah satu bahasa setempat di Sumba Timur) dan Esperanto sempat terbaca oleh bapak Bupati. Hal ini serta-merta membangkitkan rasa keingintahuan Bapak Bupati tentang bahasa Esperanto, sementara di sisi lain aku juga bercerita panjang lebar tentang bahasa ciptaan L.L. Zamenhof yang digagas pada tahun 1887 ini. Rasanya potensial apabila Sumba yang merupakan destinasi wisata juga memiliki penutur bahasa Esperanto yang dapat menyamput para Esperantis dari penjuru dunia, mengingat pulau-pulau di dekatnya seperti Bali dan Timor telah mempunyai penutur atau bahkan komunitas Esperanto-nya sendiri.

Atas: Bapak Bupati Khristofel Praing dan kawan-kawan di Laipori - Bawah: Tulisan tentang rumah adat di Palumarung dalam buku catatan, ditulis dalam bahasa Esperanto

Sebelum kembali ke hotel, kami kembali ke Haumara untuk bersantap malam yang terakhir di Sumba. Selama di Haumara, aku juga sempat mempelajari segelintir kata-kata setempat untuk benda-benda khas daerah tersebut, seperti nulang (bantal batu) dan topu (tikar dari pandan). Di samping itu, aku juga melakukan kilas balik tulisan-tulisanku dalam bahasa Esperanto yang telah kucatat di buku yang kubawa.

Foto terakhir sebelum keberangkatan di Bandar Udara Umbu Mehang Kundu, Waingapu

Di saat bulan Mei menjelang, maka di saat yang bersamaan kami dengan berat hati harus meninggalkan Sumba dan kembali ke kota asal kami. Waktu berlalu hanya sebentar dan terasa begitu cepat, tetapi terasa begitu mengesankan. Penyanyi jazz Tony Bennett pernah menyanyikan lagu "I Left My Heart in San Francisco". Lagu itu terpikirkan di kepalaku ketika pesawat yang ditunggangi mulai mengangkasa dari Bandar Udara Umbu Mehang Kundu menuju ke Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Seketika itu juga di dalam lubuk hatiku aku bergumam "I Left My Heart in Sumba".

--- Tamat ---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pratinjau Album "Best of Rollies" [1981]

Ulasan Buku "Lemari Ajaib" [2023] Karya Katharina Stögmüller

Pratinjau Album "Aku Harus Pergi" [1988] Karya Jakarta Rhythm Section