Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia (8 & 10 Mei 2022)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
"Boeng Usmar Ismail: Dalam Sinema Indonesia"
Poster-spanduk pameran pada fasad dia.lo.gue, Kemang, Jakarta Selatan
Tanggal 30 Maret yang lalu, negara kita merayakan Hari Film Nasional. Bagi kalian yang masih belum familiar dengan hari itu mungkin akan bertanya-tanya: ada apa gerangan pada tanggal tersebut? Usut punya usut, pada tanggal itulah di tahun 1950 Perusahaan Film Nasional alias Perfini didirikan, serta menandai hari pertama pengambilan gambar dari film pertamanya yaitu "Darah dan Doa" (1950). Kedua peristiwa penting itu tidak dapat dilepaskan dari peran seorang tokoh yang bernama Usmar Ismail (1921–1971).
Tujuh puluh dua tahun kemudian, ruang seni dia.lo.gue di bilangan Kemang, Jakarta Selatan memperingati momen tersebut dengan menggelar sebuah pameran yang bertajuk "Boeng Usmar Ismail: Dalam Sinema Indonesia". Pameran yang digelar dari tanggal 29 Maret hingga 28 April 2022 itu cukup meraih perhatian masyarakat. Saking populernya, pameran yang rencananya digelar selama lebih kurang satu bulan itu nyatanya diperpanjang hingga 10 Mei 2022. (Bisa membayangkan betapa ramai pamerannya?)
Kiri: Dinding biografi dan meja kaca berisi pernak-pernik film -
Kanan: Cuplikan layar tancap film "Harimau Tjampa" (1953) yang diproduseri oleh Usmar Ismail
Sebenarnya aku sendiri telah mendatangi pameran tersebut pada April Mop alias tanggal 1 April, berhubung waktu itu juga digelar pemutaran musik "tempo doeloe" yang dimainkan lewat piringan hitam oleh beragam DJ musik Indonesia. Tetapi, pameran yang begitu memikat seolah mengisyaratkan kewajiban bagi seseorang untuk datang lebih dari satu kali. Maka dari itu, aku pun kembali mendatangi pameran pada tanggal 8 dan 10 Mei, tepat pada hari-hari terakhir pameran.
Kiri: Layar-layar yang menayangkan cuplikan film-film karya Usmar Ismail - Kanan: Aneka foto yang berhubungan dengan film "Tiga Dara" (1956)
Dalam pameran tersebut, ditampilkan aneka macam ekshibisi; mulai dari penjelasan berupa biografi yang membentang di sepanjang dinding, pernak-pernik film yang tertata secara rapi di atas meja bertutup kaca, serta layar-layar televisi yang menampilkan beragam komentar dari para sineas dan keluarga besar Usmar Ismail, yang mana juga diselingi oleh cuplikan-cuplikan film karyanya. Benar-benar sebuah pameran yang terasa begitu lengkap dan memberi kesan yang mendalam.
Kiri:
Dialog Budaya "Boeng Usmar Ismail & Budaya Pop Indonesia", 8 Mei 2022 -
Kanan: Saya dengan sutradara Riri Riza
Kebetulan pada tanggal 8 Mei pula, ada dua hal yang membuatku merasa wajib untuk datang kembali. Yang pertama adalah sebuah dialog budaya bertemakan pengaruh Usmar Ismail terhadap budaya populer Indonesia. Bincang-bincang ini menghadirkan tokoh-tokoh seperti sutradara Fajar Nugros dan Riri Riza (yang sekaligus berperan sebagai moderator), kurator pameran Engel Tanzil, serta Irza Aryadiaz (perwakilan dari Usmar Ismail Cinema Society dan cucu dari Usmar Ismail). "Mba" Engel selaku kurator dan pendiri dia.lo.gue menyebut bahwa tidak ada film Indonesia yang memiliki pengaruh sebesar Tiga Dara, sampai-sampai nama "Tiga Dara" digunakan dalam berbagai produk (seperti sabun, pomade, hingga makanan) pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Aku pun sempat melemparkan pertanyaan tentang peran kuliner dalam filmografi Usmar Ismail. "Mba" Engel menjelaskan bahwa salah satu ciri dari film-film karya Usmar Ismail adalah meja makan yang sering menjadi seting dalam sebuah adegan. Tidak mengherankan mengingat pada masa itu Indonesia yang baru saja merdeka memang masih serba kekurangan, sehingga meja makan menjadi suatu tempat spesial untuk berkumpul.
Hal kedua adalah pemutaran film "Tiga Dara" dari tahun 1957. Ketiga dara yang masing-masing diperankan oleh Chitra Dewi, Indriati Iskak dan Mieke Wijaya masih memukau para penonton lebih dari enam puluh tahun setelah dirilis. Tema dari karya besar Usmar Ismail ini terasa relevan hingga saat ini, dengan dialog yang begitu luwes dan relatable bahkan bagi kaum generasi masa kini. Oh ya, setelah pemutaran film ini, aku juga berkesempatan untuk berfoto bersama dengan tante Heidy Ismail, anak ketiga dari lima bersaudara dalam keluarga Usmar Ismail.
Kiri: Beragam karikatur dari produk-produk bernama "Tiga Dara" -
Kanan: Saya dengan tante Heidy Ismail, salah satu anak dari Usmar Ismail
Tanggal 10 Mei, tepat pada hari terakhir pameran, aku menyempatkan diri untuk kembali. Dialog budaya pada hari penutup yang bertemakan "Pelestarian Artefak Film & Seni Budaya" diisi oleh pembicara-pembicara seperti Yuri Arief Waspodo (kurator museum penerangan Kemkominfo Taman Mini Indonesia Indah), Deddy Otara (pendiri Omah Otara dan kolektor artefak), Nadia Radinka dan Badai Saelan (perwakilan dari Usmar Ismail Cinema Society dan cucu dari Usmar Ismail), serta "Mba" Engel. Dalam dialog budaya tersebut, Deddy menyebut bahwa ia memiliki beberapa novel yang menjadi dasar dari film-film Usmar Ismail, seperti "Gadis Desa" (1949) yang disutradarai Andjar Asmara, "Harta Karun" dan "Tjitra" (1949) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Selain itu, "Mba" Engel juga mengangkat pengaruh-pengaruh dari film Usmar Ismail, salah satunya adalah gaya fesyen dari aktris-aktris yang memainkan peran dalam film-filmnya.
Kiri: Poster reklame maskapai Pan AM yang mempromosikan Indonesia; wanita dalam gambar terinspirasi dari tokoh Nunung yang diperankan oleh Chitra Dewi dalam film "Tiga Dara" (1956) - Kanan: Dialog Budaya "Pelestarian Artefak Film & Seni Budaya", 10 Mei 2022
Usmar Ismail bukanlah sekadar sutradara biasa, tetapi beliau juga merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah awal pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Kontribusinya yang luar biasa dalam membangun perfilman Indonesia membuatnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 10 November 2021. Pengarsip dan sutradara film alm. H. Misbach Yusa Biran (1933–2012) pernah menulis: "Mestinya kita kembali pada cita-cita Usmar Ismail dan meneruskan perjuangannya untuk menegakkan film Indonesia".
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar